Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus Kejagung Harus Teliti dalam Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus Timah





 


JAKARTA, - ||

Agar tidak terjadi kejadian yang berkepanjangan, terkait kerugian negara baik secara nyata maupun potensial dalam kasus korupsi yang sedang disidik oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Tentunya perlu ada konsolidasi yang baik, antara penyidik ​​Pidsus Kejagung dengan auditor keuangan negara (AKN) atau minimal aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) seperti BPKP. Hal tersebut penting, mengingat kompleksitas kasus tersebut.


Adanya dukungan publik yang kuat terhadap Kejagung, diharapkan dapat meningkatkan keyakinan APIP dalam proses penghitungan kerugian negara.


“Supaya nanti memuat antara kerugian riil dengan potensi kerugian, sebagai dugaan dari dampak kerugian yang nyata atau masih potensi dari perkara timah tersebut bisa berlangsung dengan baik. Tidak masuk akal. Sehingga bisa mendekatkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada keyakinan majelis Hakim di Pengadilan. Sehingga para tersangka melalui pengacaranya, tidak bisa lagi dengan mudah untuk mengingkari,” papar Iskandar Sitorus, sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Minggu (26/5- 2024).


Kejagung juga harus semakin valid dalam penyidikan, dengan menyeret seluruh pelaku tanpa mengakuinya.

Selain itu juga harus teliti, dalam menetapkan jumlah tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus Komoditas Timah yang di tangani dan kian jadi sorotan publik ini.


"Menurut kami, jumlah pelaku TPPU itu minimal 100% dari jumlah tersangka. Ukuran itu adalah angka paling rasional berdasarkan pernikahan pernikahan, dalam kaitan aliran/distribusi uang hitam hasil TPPU tersebut. Jika jumlah pelaku TPPU hanya 6 orang, maka angka itu cenderung tidak sempurna .Penjeratan tersangka TPPU yang hanya 6 orang itu nantinya akan merugikan proses pemanggilan dan termasuk keputusan majelis Hakim,” ungkap Iskandar pula.


Sebelumnya, ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, menyatakan bahwa kompensasi kerugian kasus timah dilakukan berdasarkan Permen LH No.7/2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat polusi dan/atau kerusakan lingkungan hidup.


Bambang menjelaskan bahwa kerusakan dari kasus tersebut terdiri dari tiga jenis.


Di antaranya, kerugian ekologis mencapai Rp183,7 triliun, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun. Total kerugian mencapai Rp271.069 triliun.


Angka tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan dampak lingkungan hingga kerugian masyarakat akibat dugaan korupsi.


Tidak menutup kemungkinan bahwa kerugian negara pada kasus timah bisa lebih atau kurang dari Rp271 triliun.


“Semoga Kejagung mampu menyajikan data yang faktual dan valid dalam proses penghitungan kerugian negara, baik oleh BPK atau minimal BPKP. Agar masyarakat tidak kecewa terhadap hasil akhir kinerja mereka dalam penanganan kasus Komoditas Timah itu,” tandas Sitorus.


Sebab menurutnya, angka sajian awal Rp 271 triliun itu adalah angka 'harapan' terbaik untuk bisa menjadi panduan pemeliharaan lingkungan ke depan.


“Jika nanti Majelis Hakim memutus dengan hasil yang meleleh jauh dari penghitungan itu, maka nama Kejagung tidak akan buruk,” tutup Iskandar. *(FC-Goest)*



Sumber:

PorosJakarta.com

Lebih baru Lebih lama