Catatan Akhir Tahun SMSI 2024 Serpihan Pemikiran Atraktif Prabowo Soal Pemberantasan Korupsi



Oleh: 

Theo Yusuf Ms 

(Ketua Bidang Hukum & Perundang-undangan SMSI) 


JAKARTA, – ||

“Saudara-saudara mengetahui, bahwa; Kemerdekaan daripada bangsa Indonesia itu hanyalah sekedar saya katakan berulang-ulang satu jembatan untuk menuju dan akhirnya mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang pokok yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur,” 


Demikian, bunyi amanat Presiden Soekarno yang disampaikan pada 28 Agustus 1959. Sesuai dalam pandangan Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto, untuk menjadikan masyarakat adil dan makmur, tidak perlu menjiplak ajaran 'barat' atau negara Amerika yang mengaku sebagai kampiun demokrasi. 


"Rakyat Indonesia dapat makmur dan bahagia jika kekayaan alam dan isinya itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, atau hanya orang elite yang menguasai tanah dan seisinya dan seolah dia yang dapat menentukan arah kebijakan negara ini. Tidak!" tegas Prabowo. 


Prabowo pernah mengatakan, bahwa; kesenjangan hidup kian menganga. Satu persen menguasai 36 persen dari kekayaan negara. Angka rasio begini, Indonesa hanya 0,36 persen. Artinya, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 36 persen kekayaan sumber daya alam yakni; Rp16.8 triliun dari Rp44 triliun. 

(Prabowo, 2023:85). 


Dengan demikian, sistem pemerintahan apapun yang akan diterapkan, apakah sistem demokrasi, sistem negara hukum atau gabungan demokrasi dan hukum  di Indonesia, tidak mungkin dapat menghantarkan bangsa Indonesia hidup sejahtera (baldatul thoyibatun) seperti yang disampaikan Presiden Soekarno dan Bung Hatta dalam peringatan hari Kemerdekaan  RI tahun 1959.


Oleh karenanya, Prabowo Subianto dalam mengawali pemerintahannya,   akan tegas kepada konglomerat yang tidak berpihak kepada rakyat, tegas dengan pejabat yang korup dan para pelayan publik yang menyengsarakan   rakyat. 


Terhadap sistem pencegahaan korupsi di Indonesia, Prabowo memberikan gagasan yang lebih atraktif, bagus dan simpel untuk dapat dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum serta akan memberikan manfaat banyak kepada negara dan rakyat. Itulah sebabnya, mengapa Ketua Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus, terus memberikan dukungannya kepada Presiden Prabowo.


Jurus serta konsep apakah yang Prabowo akan terapkan dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi?! Pertanyaannya sederhana, tetapi butuh kajian mendalam. Presiden Prabowo Subianto, menawarkan kesempatan bertobat kepada para koruptor.  Syaratnya, adalah; pelaku koruptor asal mau mengembalikan seluruh hasil korupsinya kepada negara.


Hal itu disampaikan Prabowo saat  memberikan kuliah umum, dengan para  mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pertengahan Desember 2024 baru-baru ini.  


“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei! para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tetapi, kembalikan, dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikan nya,” ujar Prabowo, (ant-2024).


Dalam pidato yang berlangsung lebih dari 30 menit itu, Presiden juga memberikan peringatan tegas kepada seluruh aparatur negara. 


“Hai kalian-kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa negara. Bayarlah kewajibanmu, asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan. Kalau kau setia kepada rakyat, ayo! Kalau tidak?! Percayalah, saya akan bersihkan aparat Republik Indonesia," tandas Prabowo Subianto. 


Prabowo bahkan akan mengambil langkah tegas, jika para koruptor yang sudah dihimbau dan diperingatkan tetap bandel, tidak patuh kepada hukum. 


“Tetapi kalau kau bandel terus, apa boleh buat, kita akan menegakkan hukum,” tegasnya. 


Selain itu, Prabowo juga menekankan akan pentingnya kesetiaan para aparat yakni; hanya kepada bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.


"Untuk menjawab dan mengurai pemikiran Prabowo Subianto tersebut, saya akan menggunakan kerangka teori Richard A Posner (the economics of justice 1981). Posner adalah orang AS yang lahir pada 11 Januari 1933, yang awalnya sebagai dosen di Universitas Chiacago AS dan pernah diangkat sebagai hakim di Pengandilan banding tahun 1983-an. 


Dalam teori yang banyak dikutip oleh sarjana hukum di Indonesia, dia dikenal sebagai bapak hukum ekonomi. Artinya, pelaksanaan hukum juga dapat di kompensasi terhadap nilai ekonomi. Ia memberikan contoh seorang pencuri (sebut koruptor) mencuri kalung untuk istrinya. Nilai kalung sebut saja  Rp100 juta, tetapi setelah koruptor itu   ditangkap, biaya proses penangkapan, sidang hingga pemberian penjagaan dan pemberian fasilitas kesehatan dan makan bergizi bagi mereka lebih dari Rp200 juta. 

Artinya; negara mengalami dua kerugian sekaligus, yakni negara kehilangan uangnya dan keluarga pencuri itu menjadi miskin karena ayah sebagai kepala keluarga tak dapat hidup layak mencari uang untuk keluarganya. 

(A. Posner,1981:63).


Contoh Richard Posner juga dapat dibalik menjadi, harga emas dari Rp100 juta akan melonjak menjadi Rp250 juta. Proses pemidanaannya Rp100 dan denda atas pencurian emas itu Rp50juta. Dengan demikian, jika dendanya separuh dari nilai yang dicuri saja, negara masih untung. 


Contoh yang paling anyar, adalah; kasus Harvey Moeis pidana korupsi di kasus komoditas timah yang diputus hanya 6,5 tahun, sementara kerugian negara ditaksir lebih dari Rp275 triliun,  maka kerugian negara akan tambah besar jika aset terdakwa tidak dapat disita oleh negara. 


Harvey yang didakwa dengan UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo UU No 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Korupsi, cukup berada di sel hanya 1/3 dari putusannya. Artinya, kurang dari 4 tahun yang bersangkutan sudah kembali ke masyarakat dan akan kembali sebagai seorang pengusaha. 


Dalam pandangan Prabowo, hukuman seperti itu dinilai kurang adil dan tepat, pertama sumber filosofinya dari barat, dimana pada masa silam penjajah maunya menyiksa dan memenjarakan, tanpa mengkalkulasi kerugian uang negara dan kerugian rakyat atas   proses hukumannya.


Oleh karenanya, perlu ada aturan baru yakni orang atau koruptor dipaksa untuk mengembalikan uangnya, jika tidak mau mengembalikan maka assetnya perlu dirampas untuk negara. 


Inilah sesungguhnya, pemikiran progresif Prabowo dalam usaha memberantas korupsi dengan tetap menjadikan negara dan rakyat tetap untung alias tidak buntung. Mengapa begitu? dimata Prabowo, pembuatan hukum dan pasal di masa silam masih dipenuhi dengan kebencian terhadap manusia, bukan kepada perbuatannya. 


Sebut saja dengan pembuatan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001, yang mengatur tentang hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi: Sanksinya; pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan Pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Pasal itu dirujuk dalam Pasal 419 KUHP warisan kolonial.  


Gagasan Prabowo tentang pemberantasan korupsi, tidak harus berbanding lurus dengan sistem yang menganut demokrasi, dimana 'doe process of law' adalah; salah satu adagium, semua koruptor harus diproses sesuai dengn hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan hak asasi manusia. 

Sekilas memang pernyataan itu enak didengar, namun dalam pelaksanaanya seolah menjadi pil pahit bagi rakyat miskin. 


Mengapa demikian? Dalam sistem negara demokrasi, ternyata ada juga demokrasi yang   'sekarat'. Demokrasi sekarat atau matinya demokrasi, seperti yang diulas oleh Steven Levitsky dan Daneil Ziblatt; 'How Democrasies Die' atau matinya Demokrasi (Steven 2021).


Mereka menyebutkan, matinya demokrasi antara lain ketika rakyat seolah yang berkuasa, tetapi sesunguhnya kekuasaan itu dikendalikan oleh pemilik modal, pemilik media massa, para begundal hukum dan para pimpinan partai.   


Ziblatt mencontohkan, Fuji Mori, anak keturunan Jepang yang menjadi Presiden di Peru tahun 1990-an mengalahkan Vargas Lioasa, sastrawan Peru yang mendapatkan dukungan partai, konglomerat dan media massa setempat. 


Meskipun Fuji Mori sebagai presiden terpilih secara demokratis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Faktanya, dalam tahun pertamanya, tak satupun UU dapat dihasilkan. Bahkan kebijakan apun yang disampaikan, dimentahkan oleh Mahkamah Agung karena telah dikuasai oleh para begundal hukum. Fuji Mori pernah mengatakan; “saya memerintah Peru sendirian di balik komputer," (Steven,2021:56). 


Akhirnya tak lama kemudian, Fuji Mori dijatuhkan oleh lawan politiknya dengan cara seolah demokratis. Tetapi sesunguhnya, semua aturan dapat dimanipulasi oleh para taipan, tokoh partai dan begundal hukum. Sistem demokrasi seperti itu, sama halnya dengan sekaratnya demokrasi. 


Oleh karena itu, dalam penegakan demokrasi dan hukum, Prabowo Subianto tampaknya tidak ingin seperti Fuji Mori. Ia boleh dijauhi dari para taipan, dari konglomerat dan media massa. Tetapi rakyat dan TNI tetap kuat di belakangnya, maka akan banyak kebijakan untuk disampikan demi kepentingan rakyat dan negara. Seperti yang disebutkan, demokrasi kita bisa dikuasai pemodal. 


Menurut saya, demokrasi saat ini ada di persimpangan jalan. Apakah demokrasi kita akan di-hijack, akan disandera oleh para kurawa? Saya sudah keliling kesemua kabupaten di Indonesia. Di tahun 2014-2019, saya berkesempatan keliling ke ratusan kota dan kabupaten. 


Di mana-mana rakyat mengaku sudah tak tahan lagi, terlalu banyak korupsi di negeri ini, banyak proyek dikorupsi, banyak orang disogok, banyak pemimpin mau dibeli dan mau disogok. Akhirnya tidak ada keadilan ekonomi," 

(Prabowo, 2022:89). 


Keprihatian rakyat yang  dirasakan Prabowo itu, bagian penting dari kerangka teori yang menggagas pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian akut. Dengan  menyuruh orang untuk segera bertobat, dan mengembalikan hasil korupsinya jika tak ingin harta bendanya dirampas untuk negara dan rakyat. Saya tahu, ada orang yang tidak suka dengan konsepnya. 


“Saudara-saudara sekalian, yang nyinyir sama saya, silakan kau duduk saja di sebelah situ, ini belum apa-apa. Nanti, 6 bulan lagi, baru saudara boleh nilai pemerintahan Prabowo Subianto!” tegas Prabowo, sebagaima dikutip dari YouTube Sekpres, 2024. *(FC-G)*

Lebih baru Lebih lama