Lebaran Depok: "Semangat Pelestarian Budaya, Apa Ajang Seremonial Semata










Oleh: Joko Wahrinyo
(Pemimpin Redaksi- Tribundepok.com)

Masyarakat Kota Depok kini tengah bersiap, menyambut sebuah perayaan tahunan yang telah menjadi bagian dari denyut nadi sosial warganya. Lebaran Depok. 

Tahun ini, acara itu dijadwalkan akan berlangsung pada 11 Mei 2025. Namun, dibalik gegap gempita spanduk yang terpasang dan riuh promosi di media sosial. Timbul pertanyaan-pertanyaan mendalam yang layak kita ajukan, sebagai warga yang peduli terhadap arah kebudayaan kota. Apa sebenarnya, makna sejati dari Lebaran Depok? Siapa pencetus awalnya? Dan yang lebih penting, apakah perayaan ini sungguh berpihak pada pelestarian budaya lokal, atau sekadar ajang seremonial tahunan yang hanya menyisakan kenangan tanpa esensi?

Sampai hari ini, catatan sejarah mengenai siapa penggagas utama Lebaran Depok masih buram. Tak ada dokumentasi resmi yang menjelaskan, asal muasal ide besar ini lahir. Namun, ketidaktahuan itu seolah tidak menjadi hambatan bagi Pemerintah Kota Depok untuk menjadikan perayaan ini sebagai agenda budaya tahunan yang diusung dengan semangat besar. Kampanye demi kampanye diluncurkan, baliho dan spanduk menghiasi jalan-jalan utama kota, dan publikasi di berbagai kanal terus di gaungkan. 

Semua ini, memberi kesan bahwa; Pemkot Depok berkomitmen menjadikan Lebaran Depok sebagai simbol identitas kebudayaan kota Depok yang majemuk.

Depok, memang bukan kota kecil lagi. Ia tumbuh dengan cepat, menjadi hunian jutaan jiwa dari berbagai penjuru tanah air. Keberagaman inilah yang menuntut adanya ruang temu budaya, sebuah wadah bersama untuk merayakan dan menghargai tradisi masing-masing. Dan secara ideal, di titik itulah Lebaran Depok hadir. 

Sebuah festival budaya yang digadang-gadang sebagai ajang pertemuan lintas tradisi dan lintas generasi, yang tidak hanya mencerminkan budaya lokal Depok, namun juga menjadi etalase kekayaan budaya Indonesia.

Tujuan acara ini terdengar mulia, melestarikan budaya lokal, memperkuat kohesi sosial masyarakat, menghidupkan semangat gotong royong dan memperkenalkan budaya Nusantara ke publik yang lebih luas. 

Namun di tengah tujuan sangat luhur itu, masyarakat tetap punya hak untuk bertanya secara kritis:
- Apakah Lebaran Depok sungguh-sungguh digerakkan oleh partisipasi dan aspirasi masyarakat, atau justru lebih digerakkan oleh dorongan pencitraan birokrasi? 
- Apakah penyelenggaraannya menjadi ladang kolaborasi dengan para pelaku seni, komunitas budaya, dan tokoh adat, atau hanya melibatkan mereka sebatas formalitas pengisi acara? 
- Apakah kegiatan ini dibiayai murni oleh anggaran daerah, atau sudah membuka ruang partisipatif melalui gotong royong, swadaya masyarakat, dan kontribusi komunitas?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk menggugat, melainkan untuk menjaga agar esensi budaya tidak hilang dalam gemerlap panggung hiburan semata. Karena kita sadar, budaya bukan sekadar tontonan, ia adalah hasil perjalanan panjang, warisan nilai, dan akar identitas yang harus dijaga bersama.

Lebaran Depok menyimpan potensi besar, untuk menjadi ikon budaya yang sesungguhnya. Tradisi seperti Kebo Andil, sebuah simbol solidaritas sosial lewat penyembelihan kerbau dan pembagian daging kepada masyarakat adalah cermin nilai gotong royong yang tak ternilai.

 Demikian juga dengan Ngalaksa, upacara sebagai ungkapan syukur kepada leluhur, yang mengandung nilai spiritualitas dan penghormatan terhadap akar budaya lokal. Sungguh disayangkan, jika kegiatan ini hanya dijadikan agenda seremonial tahunan tanpa upaya pelestarian yang konkret, maka dikhawatirkan semua ini hanya menjadi kemasan indah tanpa isi.

Kita patut mengapresiasi langkah panitia, yang mencoba menjadikan Lebaran Depok lebih dari sekadar panggung budaya. Dalam pelaksanaannya, hadir pula kegiatan sosial seperti pelayanan administrasi kependudukan, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga stand UMKM lokal yang membuka ruang ekonomi kreatif. Ini adalah, langkah maju.

Namun begitu, tetap perlu diingat, bahwa; keberhasilan festival budaya bukan hanya diukur dari banyaknya pengunjung atau jumlah selfie di Instagram. Melainkan, sejauh mana tradisi yang diangkat mampu memberi dampak nyata dalam membangun kesadaran budaya kolektif.

Lebaran Depok semestinya, tidak berhenti sebagai panggung hiburan tahunan. Ia harus menjadi forum dialog budaya, ruang refleksi kolektif, dan arena pendidikan sosial bagi generasi muda. Disinilah anak-anak Depok bisa mengenal akar sejarah kotanya, memahami perbedaan sebagai kekayaan, dan menghargai nilai-nilai tradisional dalam kehidupan modern. Budaya tidak akan bertahan, jika tidak diajarkan, tidak diwariskan, dan tidak dipraktikkan.

Pemkot Depok memiliki tugas besar, untuk tidak menjadikan Lebaran Depok sebagai "festival yang sibuk tapi hampa." Perlu ada kejelasan arah, apakah ini hanya proyek event tahunan, ataukah gerakan kultural yang berkelanjutan? 

Untuk itu, transparansi dalam penggunaan anggaran, keterlibatan aktif komunitas budaya, serta evaluasi menyeluruh pasca-acara adalah langkah penting yang tak boleh diabaikan.

Kita semua berharap, bahwa; Lebaran Depok bisa menjadi milik bersama, bukan sekadar milik panitia atau pemerintah. Ia harus tumbuh dari bawah, dirancang dengan pendekatan budaya partisipatif, dan dijaga bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Tradisi hanya bisa hidup bila dirawat dengan cinta, dijalankan dengan kesadaran, dan dihormati sebagai warisan yang membentuk jati diri.

Akhir kata, mari kita jadikan Lebaran Depok sebagai momentum kebangkitan budaya lokal yang inklusif. Bukan hanya ajang selebrasi, yang sesaat. Mari rayakan Depok yang majemuk, dengan semangat kebersamaan, bukan seremonial kosong. Karena budaya bukan untuk ditonton, tetapi untuk dijalani dengan hati, dengan makna, dan dengan warisan yang tak terputus. (MPD/FC-G)
Lebih baru Lebih lama