Oleh : Joko Warihnyo
(Ketua Group Mitra Pers Depok)
KASUS dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, di lingkungan SMP Negeri 3 Depok adalah alarm keras yang menggema tidak hanya di ruang-ruang kelas, tetapi juga di benak para orang tua, tenaga pendidik, dan masyarakat luas.
Peristiwa ini bukan sekadar tragedi personal, tetapi cerminan dari krisis sistemik yang tak bisa dibiarkan berlalu tanpa perenungan dan tindakan nyata.
Dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang aman dan kondusif untuk tumbuh kembang anak, munculnya kasus seperti ini menjadi pengingat bahwa sekolah bukan hanya tempat untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi juga medan untuk menumbuhkan budi pekerti, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ditengah laju perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, anak-anak kita dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Media sosial, internet, dan ruang digital lainnya membuka pintu-pintu baru bagi eksploitasi, manipulasi, hingga kekerasan seksual yang bersifat terselubung namun menghancurkan.
Dalam lanskap digital ini, pelaku kekerasan tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu, mereka bisa hadir dalam layar ponsel, menyusup ke ruang pribadi anak-anak tanpa suara, tanpa jejak yang kasat mata.
Namun, teknologi tidak sepenuhnya menjadi momok. Ia juga menyimpan potensi besar sebagai alat pencegahan. Pengembangan teknologi keamanan digital, fitur pelaporan konten, dan peningkatan literasi digital di kalangan anak-anak adalah langkah-langkah progresif yang bisa diambil untuk memutus rantai kekerasan. Sayangnya, semua itu tidak akan cukup tanpa pemahaman mendalam terhadap akar permasalahan.
Kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan, tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam struktur sosial yang timpang dan budaya patriarki yang memarjinalkan suara korban. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak menjadi korban karena sistem sosial menempatkan mereka pada posisi subordinat. Tidak berdaya untuk menolak, atau bahkan menyuarakan ketidak-nyamanan mereka.
Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi persoalan ini tidak bisa sekadar bersifat reaktif atau individualistik. Ia harus sistemik, menyentuh pada tatanan nilai, kebijakan, dan budaya.
Sekolah sebagai institusi pendidikan, memiliki peran strategis. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tapi juga penjaga moral dan pelindung bagi anak-anak di bawah asuhannya.
Maka sudah sepatutnya, setiap tenaga pendidik dibekali dengan pendidikan karakter, pelatihan sensitivitas gender, serta pemahaman yang mendalam mengenai hak-hak anak dan mekanisme perlindungan mereka.
Demikian pula, orang tua harus diajak untuk membangun komunikasi terbuka dan penuh kepercayaan dengan anak-anak, agar mereka merasa aman untuk bercerita, bertanya, dan mengadu ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan.
Kasus di SMPN 3 Depok, adalah; gambaran kelam yang harus menjadi titik balik. Kita tidak bisa membiarkannya, menjadi satu dari sekian berita yang harus berlalu begitu saja. Ia harus menjadi momentum, untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan kita. Termasuk kurikulum, mekanisme perlindungan anak, hingga budaya sekolah yang dibangun.
Jangan sampai, anak-anak merasa lebih aman di dunia maya ketimbang di ruang kelasnya sendiri.
Mewujudkan lingkungan yang aman bagi anak, adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media, sekolah, dan keluarga harus bahu-membahu membangun sistem yang melindungi, bukan melukai.
Pendidikan seks yang komprehensif, edukasi kesetaraan gender, serta dukungan psikologi memadai untuk korban, adalah bagian dari komitmen moral kita sebagai bangsa.
Anak-anak adalah masa depan kita. Setiap luka yang mereka alami hari ini, adalah beban yang akan dibawa ke masa depan. Sudah saatnya kita membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang tidak menoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun terlebih terhadap mereka yang paling rentan.
Mari jadikan peristiwa ini yang terakhir. Tidak ada lagi ruang bagi kekerasan, di tempat yang seharusnya menjadi taman bagi tumbuhnya mimpi dan harapan sekolah. (®)