Oleh: Abdul Aziz_
YOGYAKARTA, - || Terkuaknya korupsi yang dilakukan oknum petinggi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menyadarkan kita bahwa korupsi itu memang sudah terstruktur dan masif.
Kita sangat sering menemukan tulisan di pintu masuk kantor Pemerintahan, kalimat berikut; _"Hanya Pemegang KTA PWI yang Boleh Masuk"_. Tulisan seperti itu, banyak sekali terlihat saat berkunjung ke dinas-dinas, di saat awak media bukan anggota PWI akan mengkonfirmasi informasi pada kantor dinas yang ada di daerah-daerah.
Begitu pula dengan para Anggota PWI yang memegang wilayah tersebut, mereka merasa kastanya lebih tinggi dari rekan-rekan yang tidak tergabung dengan PWI atau medianya tidak menjalankan Dewan Pers (DP).
Saat ini terkuak dengan fakta yang jelas, bukti pengakuan dari Dewan Kehormatan (DK) PWI itu sendiri yang menyatakan dan membenarkan bahwa di tubuh pusat PWI terjadi asumsi yang jumlahnya tidak main-main yaitu bermilyar-milyar rupiah.
Wajar jika rakyat berteriak mengatakan mereka para oknum anggota PWI itu, adalah;
bajingan, super bangsat, penghancur negara Republik Indonesia. Karena mereka, korupsi merajalela di negeri ini, dari semua tingkat pemerintahan, baik desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, apalagi tingkat kementerian.
Semuanya dilindungi para bangsat-bangsa PWI yang bernama Hendri Ch Bangun, Sayid Iskandar Syah, Syarif Hidayatullah, Muhammad Ikhsan, dan kawanannya.
Kalau melihat namanya, dalam benak kita pasti berpikir orangnya baik, cocok untuk jadi panutan karena nama itu nama yang mencerminkan manusia berperilaku muslim. Ternyata mereka tidak lebih dari maling tengik alias bangsat berselubung nama islami, nauzubillahiminzalik.
Mantan Ketua DP, Hendri Ch Bangun, yang mengagungkan Dewan Pers sebagai media yang baik, rupanya tidak lain adalah dedengkot penipuan koruptor yang terbukti merekayasa, sehingga terjadinya mega korupsi uang hibah BUMN yang digawangi Erick Tohir.
Kenapa Dewan Pers bungkam? Sejumlah pihak berkeyakinan DP mengetahui semua kejadiannya, dari proses pencairan hingga bagi-bagi hasil korupsi dana hibah itu. Karena bukan tidak mungkin, PWI bangsa ini bekerja sama dengan DP untuk mengajukan permohonan dana hibah ke BUMN tersebut.
Sekarang saatnya PWI introspeksi, berhenti mejadikan DP sebagai referensi perusahaan media, Indonesia tidak membutuhkan DP dan PWI.
Indonesia membutuhkan media dan insan pers yang memiliki integritas tinggi, yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan apapun. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, sudah menjelaskan bahwa Pers harus melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran!
Saya berharap, Organisasi Wartawan lainny, seperti Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) segera mengambil tindakan, melaporkan temuan-temuan kejahatan terstruktur dan masif yang dilakukan PWI ke Kepolisian RI. Demikian juga organisasi dan elemen masyarakat lainnya, agar bersama-sama menjadi anggota korupsi di dunia jurnalis yang bersarang di organisasi PWI peternak koruptor peliharaan Dewan Pers.
Indonesia tidak boleh menerima permintaan maaf dan pengembalian hasil kejahatan saja, dari kelompok koruptor uang rakyat di PWI. Mereka jelas sudah melakukan korupsi, dan menikmati uang rampokan dana hibah BUMN, maka para bandit penipu itu sepatutnya harus dipenjarakan. (*)
Layanan Rahasia@108