JAKARTA, – ||
Deddy Setiawan Tan (55), seorang pengusaha yang merupakan Komisaris PT. Pratama Prima Bajatama (PPB), diduga telah melakukan tindak pidana penganiayaan dan penyekapan terhadap orang lain. Sebagaimana diatur, dalam Pasal 351 KUHP dan Pasal 333 KUHP tentang penganiayaan dan tindak pidana perampasan kemerdekaan seseorang dengan ancaman hukuman penjara 8 (delapan) tahun, atau hukuman pidana paling lama 9 (sembilan) tahun untuk penganiayaan berat, dan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun untuk kematian.
Penganiayaan dan penyekapan yang dilakukan Bos Deddy terhadap karyawannya sendiri yang bernama Rico Pujianto, terjadi pada 10 hingga 12 Oktober 2020 lalu, di kantor perusahaan besi baja beralamat di Jl. Raya Narogong km 13 Pangkalan Tiga, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Akibat penganiayaan dan penyekapan itu, korban pun mengalami memar-memar dan trauma serta terlihat selalu ketakutan dan letih sepanjang hari. Terkait kasus penganiayaan dan penyekapan bos terhadap karyawan itu, berujung pada laporan pihak korban ke Kepolisian.
“Bos Deddy membentak, meninju, menampar dan memukuli saya berkali-kali di depan istrinya, Ibu Ing dan kawan-kawan saya. Bahkan Bos Deddy sempat masuk ke ruangan kantornya yang hanya berjarak 8 meter dari tempat saya duduk, dan berteriak keras sambil mencari samurainya, ‘mana samurai gua, biar gua matiin sekalian’. Rupanya, samurai tersebut sudah disembunyikan. Istri Bos Deddy, takut terjadi hal-hal yang fatal. Jika ketemu samurai itu, mungkin saya sudah mati,” ungkap Rico menceritakan peristiwa mengerikan yang dialaminya itu kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, di Sekretariat PPWI, Jakarta Barat, baru-baru ini.
Selain itu, korban juga menjelaskan bahwa Bos Deddy memerintahkan kawan-kawannya agar tidak melihat ke arahnya yang sedang disiksa dan dipukuli, sehingga mereka hanya menunduk takut, tidak berani melihat kejadian mengenaskan yang sedang berlangsung di depan mata mereka. Bahkan, kata Rico, Bos Deddy menyuruh salah satu karyawan, Dindon, untuk mematikan CCTV agar kejadian penganiayaan yang sedang berlangsung tidak terekam kamera pengawas.
Kemarahan Bos Deddy, menurut penuturan korban yang warga Semarang, Jawa Tengah itu, bermula dari kecurigaan sang Bos yang menuduh pemuda lajang berusia 33 tahun itu telah menilap uang hasil penjualan besi wiremesh. Rico Pujianto bersama 5 orang rekannya memang merupakan sales wiremesh yang diproduksi oleh PT. PPB. Rico ditugaskan untuk memasarkan wiremesh (besi rangkaian yang digunakan untuk konstruksi jalan beton) di wilayah Jawa Tengah, dan dia telah bekerja di perusahaan tersebut selama 2,5 tahun.
Dalam proses penjualan wiremesh itu, kata Rico, pada periode bulan-bulan menjelang dia dianiaya dan disekap, sekitar 30 persen produk wiremesh dari PT. PPB ditolak oleh pelanggan karena berkarat, tidak memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Barang tolakan tersebut dititipkan Rico di sebuah bengkel las milik temannya, Slamet Riyadi, di Desa Karangcegak, Kecamatan Sumbang, Purwokerto, Jawa Tengah. Rico menitipkan barang tersebut, karena ketiadaan biaya angkut kembali ke gudang PT. PPB di Bantar Gebang, Bekasi, yang mencapai puluhan juta rupiah.
Atas kekurangan setoran hasil penjualan, karena sebagian barang (wiremesh) ditolak pelanggan itulah, kemudian Bos Deddy menuduh Rico telah menggelapkan uangnya sehingga gelap mata dan dengan penuh emosi melakukan kekerasan fisik dan non-fisik terhadap karyawannya itu.
Akibat pemukulan yang dialami korban, disamping mentalnya yang terluka, wajahnya juga memar dan luka di sana-sini. Ancaman pembunuhan dengan samurai juga telah membuat jiwanya jadi penuh ketakutan dan dihantui rasa traumatis.
Penganiayaan yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB itu kemudian terhenti, setelah Direktur kepercayaan Bos Deddy bernama Winoto, SH mendekati sang Bos bertemperamen tinggi itu untuk datang menenangkannya.
Winoto yang ternyata merupakan mantan anggota DPRD Bekasi itu, akhirnya tergerak untuk mendekati bos-nya setelah melihat gelagat yang kurang baik saat sang bos mencari samurai yang menurut Bos Deddy akan digunakan untuk membunuh Rico. Winoto pun akhirnya berhasil menenangkan Deddy, dan berhentilah penganiayaan atas Rico pada saat itu.
Penganiayaan memang berhenti, namun berlanjut dengan proses penyekapan atau perampasan kemerdekaan Rico. Handphone-nya disita. Dia pun tidak diizinkan menghubungi bapak dan ibunya, serta anggota keluarga yang lainnya. Teman-teman kerjanya dilarang meminjamkan handphone kepada Rico, walau sekedar untuk menghubungi keluarganya. Bahkan, seorang satpam bernama Azis diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi Rico. Kemanapun korban beranjak, semisal saat minta izin untuk ke toilet, sang satpam mengikuti dan menungguinya di depan toilet. Jika lalai, Azis terancam dipecat si Bos Deddy.
Malamnya, lanjut Rico, sekitar pukul 20.30 WIB, dia bersama beberapa karyawan ditugaskan ke Purwokerto untuk melihat besi wiremesh karatan yang dititipkan di sebuah bengkel seorang teman. Rico, masih dengan pengawasan ketat sang satpam Azis, ditempatkan di bak mobil fuso selama perjalanan ke Purwokerto.
“Semula, Bos Deddy menginstruksikan ke satpam agar selama dalam perjalanan, saya ditempatkan di bak mobil fuso belakang dan diikat dengan tali. Namun, karena merasa kasihan, satpam tidak mengikat saya,” ujar Rico sedih.
Setiba di Purwokerto pada esok harinya, Minggu subuh, 11 Oktober 2020, team yang terdiri atas 3 mobil fuso dan mobil pribadi, dengan dikawal oleh Bos Deddy langsung menuju bengkel las penitipan barang tolakan. Karena hari masih gelap-gulita, sekira pukul 04.00 wib, keadaan bengkel masih sepi, orang tua Slamet Riyadi yang menunggui bengkel masih tidur, pagar tertutup rapat. Tidak ingin menunggu lama, pintu pagar yang terkunci dibuka paksa gemboknya menggunakan gunting besar oleh Galuh, salah satu karyawan yang ikut rombongan, atas perintah Winoto dan Bos Deddy. Besi wiremesh rongsokan yang ditimbun di bengkel itupun dimuat ke dalam mobil-mobil fuso dan dibawa kembali ke gudang di Bekasi.
Kasus penganiayaan dan penyekapan itu, telah dilaporkan ke Polres Bekasi. Saat ini, berkas laporan telah diambil alih penanganannya oleh Polda Metro Jaya. Ayah korban, Alex, sangat berharap agar Bos PT. Pratama Prima Bajatama, Deddy Setiawan Tan dan para cecunguknya itu segera ditangkap dan diproses hukum.
“Saya meminta PPWI untuk membantu kami, agar kasus yang dialami anak saya ini bisa segera diproses. Para pihak yang terlibat dalam penganiayaan dan penyekapan anak saya Rico Pujianto harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku,” tegas Alex.
Merespon kasus tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dan menyayangkan atas perilaku brutal oknum komisaris perusahaan terhadap karyawannya yang sudah memberi dia keuntungan dalam bisnisnya.
“Saya heran, terbuat dari apa hati si pemilik PT Pratama Prima Bajatama itu yaa? Tanpa kerja keras karyawan, Anda tidak mungkin mendapatkan keuntungan dalam usaha dan bisnis. Semestinya Anda hargai dan sayangi karyawan, supaya usahanya lebih berkah, lebih memberi manfaat bagi Anda dan orang lain. Bukan malah menyiksa karyawan,” ujar Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, yang menyesalkan perilaku hewani oknum Deddy Setiawan Tan itu.
Untuk itu, Wilson Lalengke memastikan bahwa; PPWI akan tegas mendesak Polri untuk mengusut kasus kebiadaban sang Bos tak berperikemanusiaan itu secepat-cepatnya. Tidak boleh dibiarkan manusia yang diduga bermental rakus, kasar dan suka menyiksa sesamanya itu tetap berkeliaran di luar.
“Jangan karena dia banyak uang, Hukum dijadikan alat negosiasi oleh oknum bermental aji mumpung yang suka memanfaatkan situasi dan menjadikan ATM sebagaimana kebiasaan yang selama ini kita sama-sama ketahui. Sehingga, akhirnya keadilan bagi korban pun dikorbankan.
"Harus ditangkap segera orang ini, pasal pidananya jelas, penganiayaan, intimidasi, ancaman pembunuhan, dan penyekapan serta perampasan kemerdekaan seseorang,” pungkas Wilson Lalengke yang lulusan pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia itu. *(Tim/Red)*