"PPDB di Kota Depok, Refleksi Ketidakadilan dalam Pendidikan"*








Oleh: Joko Wahrinyo (Ketua Mitra Pers Kota Depok & Koordinator Seksi Bidang Advokasi PWI Kota Depok)


Setiap tahunnya, penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur SMA dan SMK di Depok selalu menimbulkan polemik. Pada tahun 2024, hal ini kembali terjadi, dengan salah satu masalah utama yang muncul adalah ketidakcukupan daya tampung sekolah negeri dibandingkan dengan jumlah lulusan SMP.


Depok, sebagai kota penyangga ibu kota Jakarta dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, seharusnya menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Namun ironisnya, perhatian dari pemangku kebijakan kerap kali hanya muncul setelah masalah viral di media. Padahal, yang dibutuhkan masyarakat adalah solusi konkret terkait sarana dan fasilitas pendidikan yang memadai, sesuai dengan amanat undang-undang.


Di Depok, terdapat 15 SMA negeri dan 4 SMK negeri. Namun, pada PPDB Juni 2024, SMA dan SMK Negeri di Depok hanya mampu menampung 30 persen dari total pendaftar. Sementara jumlah SMPN di Depok sebanyak 36 sekolah, belum lagi sekolah swasta. Hal ini menjadi bukti bahwa kapasitas sekolah negeri di Depok masih jauh dari cukup untuk menampung jumlah lulusan SMP yang terus meningkat setiap tahunnya.


Masalah adanya dugaan jual beli bangku sekolah hingga isu gratifikasi yang dilakukan para oknum kepala sekolah menjadi sorotan di tengah para siswa tua yang menuntut keadilan. Penambahan jumlah SMAN dan SMKN di kota Depok menjadi sebuah keharusan dan tuntutan untuk memperbaiki nilai rapor setiap PPDB setiap tahunnya di kota Depok.


Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat diminta memberikan solusi dalam mengatasi masalah PPDB di Kota Depok yang setiap tahunnya menumbuk masalah dan kekurangan. Tidak hanya masalah daya tampung, sistem zonasi yang diterapkan juga menuai kritik. Misalnya, ada calon siswa yang jaraknya hanya 200 meter dari sekolah namun tidak diterima karena sistem zonasi. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan sistem zonasi serta regulasi yang mendasarinya.


Menurut peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu rombongan belajar (rombel) maksimal diisi oleh 36 siswa. Namun, di Depok, angka ini dianggap tidak adil karena jumlah SMA negeri dan SMK negeri yang terbatas tidak sebanding dengan daerah lain di Jawa Barat seperti Tasikmalaya atau Sukabumi. Para pengamat pendidikan menyarankan agar satu rombel di Depok diisi oleh 40 siswa untuk menampung lebih banyak peserta didik baru. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat lebih memilih menyekolahkan anaknya di SMA negeri daripada swasta, karena biaya sekolah swasta dianggap terlalu mahal.


Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan harus segera memberikan solusi konkret untuk menjamin anak-anak Depok mendapatkan pendidikan yang layak. Dinas Pendidikan Jawa Barat tidak seharusnya hanya menunggu laporan dari bawah, tetapi harus proaktif menjadikan masalah PPDB di kota sebagai prioritas agar pelaksanaan PPDB di tahun mendatang lebih baik. 


Kecewaan para orang tua siswa harus dimaklumi, karena mereka tidak ingin anaknya putus sekolah. Praktik-praktik tidak terpuji oleh oknum guru dan kepala sekolah harus menjadi perhatian khusus dari pimpinan di atasnya. Pemerintah Jawa Barat harus berani mengambil tindakan tegas terhadap oknum dan kepala sekolah yang nakal demi menjaga kualitas pendidikan.


Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa hak ini terpenuhi dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai serta memberantas praktik-praktik kecurangan yang merusak sistem pendidikan. (®)

Lebih baru Lebih lama