Antara Maggot dan Mimpi Kota Bersih : "Jurus Sakti Wali Kota Depok atau Sekadar Fatamorgana?




Editorial Pojok


*Antara Maggot dan Mimpi Kota Bersih : "Jurus Sakti Wali Kota Depok atau Sekadar Fatamorgana?”*


Oleh: Joko Wahrinyo


Tak ada kota yang bahagia, jika tenggelam dalam sampah. Begitulah kira-kira, gambaran wajah Depok hari ini. Kota yang terus berlari mengejar modernitas, tapi masih tertatih dalam urusan paling mendasar; pengelolaan limbah. 


Ditengah tekanan masyarakat dan darurat lingkungan yang kian akut, Walikota Depok muncul dengan satu kata kunci yang terus digaungkan; Maggot.


Serangga mungil bernama larva Black Soldier Fly itu, kini menjadi simbol harapan baru. Dalam berbagai forum, sambutan, bahkan pidato resmi. Sang Walikota dari partai Gerindra itu, kerap menyuarakan optimismenya bahwa budaya maggot adalah jurus sakti. Bukan hanya sebagai solusi, tapi juga sebagai ikon perubahan ekologis bagi Kota Depok.


Namun, dibalik semangat membara itu, masyarakat berhak bertanya. Apakah ini solusi berkelanjutan, atau hanya mimpi dalam bungkusan retorika?


Tak bisa dipungkiri, maggot memiliki potensi luar biasa. Ia dikenal sebagai dekomposer alami yang mampu mengurai sampah organik dengan kecepatan tinggi. Hasilnya? Larva kaya protein yang bernilai ekonomi tinggi dijadikan pakan ternak, diolah jadi tepung, bahkan pupuk organik.


Tapi mari bicara jujur, mengelola maggot bukan sekadar meletakkan tong sampah dan menunggu keajaiban. Dibutuhkan ekosistem penunjang yang sangat kompleks, mulai dari pelatihan, pendampingan teknis, peralatan fermentasi, sistem pengolahan, hingga jaminan pasca-produksi. Tanpa itu semua, budaya maggot hanya akan menjadi eksperimen semu yang tak berumur panjang.


Bayangkan, jika dari 900 RW di Depok masing-masing memproduksi 50 kg maggot per-minggu, dalam sebulan bisa terkumpul lebih dari 180 ton larva. Pertanyaannya; siapa yang akan menyerap sebanyak itu? Dimana industrinya? Apakah sudah ada pembeli tetap, atau tengkulak yang bersedia menampung dalam skala besar? Jika belum, jangan salahkan warga jika pada akhirnya maggot justru menjadi 'limbah baru'.


Ambisi sang Walikota, patut dihargai. Tapi ambisi tanpa arah yang jelas, hanya akan menambah daftar panjang kebijakan populis yang gagal menyentuh akar masalah. Belum lagi, tidak semua warga nyaman bergumul dengan larva. Ada faktor psikologis, budaya, bahkan agama yang harus dipertimbangkan. Maka, ketika maggot dipaksakan sebagai satu-satunya pendekatan, disitulah kekeliruan besar mulai tumbuh.


Kita butuh, roadmap yang transparan. Kita juga butuh, regulasi yang jelas. Lebihnya lagi, kita butuh keterlibatan nyata masyarakat bukan hanya dijadikan target sosialisasi searah. Pendidikan lingkungan harus berjalan seiring, tak hanya lewat spanduk atau poster motivasi. Harus ada anggaran pendukung, insentif untuk RW dan mitra industri yang memang sudah terikat kontrak jangka panjang.


Sementara Pemkot gencar mempromosikan maggot, DPRD Kota Depok pun mulai bergerak. Wakil Ketua DPRD Yetty Wulandari bersama tim Pansus Sampah melakukan studi banding ke Surabaya, kota yang telah sukses menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat secara menyeluruh. Inilah pendekatan yang patut dicontoh, belajar dari yang berhasil, bukan sibuk berinovasi tanpa fondasi.


Sampah tak akan selesai, hanya dengan satu metode. Kompos, eco-enzyme, biodigester, hingga bank sampah, tetap harus dijadikan pilar utama. Diversifikasi, solusi, adalah keniscayaan. Kota Depok tidak butuh simbol, ia butuh hasil.


Editorial ini, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan. Kota Depok tidak bisa disulap dengan jargon. Pemimpin harus berpikir jauh ke depan, bukan hanya memuaskan hasrat jangka pendek. Maggot adalah peluang, tapi jika dikelola asal-asalan, ia bisa menjadi bumerang.


Masyarakat Depok, banyak punya harapan. Mereka siap bergotong royong, siap menerima inovasi, asal mereka diajak bicara, diberi ruang dan dilibatkan secara nyata. Maka, sang Walikota tak hanya dituntut mencintai maggot. Ia juga dituntut, menyusun langkah yang konkret dan akuntabel.


Depok bisa bebas dari penistaan sampah. Tapi hanya jika setiap program dikawal dengan logika, dibangun dengan partisipasi, dan dievaluasi dengan jujur. Bukan sekadar dibungkus euforia lalu dilupakan seperti proyek-proyek sebelumnya yang hilang dalam tumpukan anggaran. Ditengah bau menyengat dari TPS yang menumpuk, Rakyat Depok tak butuh janji. Mereka butuh bukti. 


Maka, semoga maggot tak sekadar menjanjikan revolusi. Tetapi, benar-benar membawa transformasi. Dan sang Walikota, bukan hanya dikenang karena cinta pada larva, tapi karena keberanian mengubah kota dari kubangan krisis menjadi surga hijau yang layak huni.


Semoga apa yang menjadi kekhawatiran di atas, sudah dipikirkan dan dicarikan solusi-solusinya oleh pak Walikota dan pak Wakil melalui perangkat-perangkat dinas terkaitnya. Karena 'Kagak Mungkin' beliau berdua gencar menyuarakan sebuah solusi, jika tanpa memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi. I love or leader, I love Depok. (MPD/Red)

Lebih baru Lebih lama