Satgas Anti-Preman Depok: *"Harapan Warga, Tantangan Nyata Atau Ancaman Seremoni Semata?"




Oleh: Joko Wahrinyo

(Pemimpin Redaksi Tribundepok.com)


Ditengah denyut kehidupan urban Kota Depok yang semakin kompleks dan dinamis, ada keresahan yang tak kunjung padam. Premanisme yang menjelma dalam berbagai bentuk, dari kekerasan jalanan, hingga intimidasi dalam birokrasi. 


Dalam iklim sosial yang mulai jenuh, oleh ketidak-pastian keamanan. Pemerintah Kota Depok mengambil langkah simbolik, sekaligus strategis, dengan membentuk Satgas Anti Premanisme. 


Sebuah apel kesiap-siagaan digelar, pada Kamis, 27 Maret 2025. Melibatkan seluruh elemen Forkopimda, di Lapangan Balai Kota Depok. Bersamaan dengan pelaksanaan serupa, di seluruh wilayah Jawa Barat.


Tampak megah dan penuh semangat. Namun dibalik formasi barisan dan suara komando, muncul pertanyaan kritis yang tak bisa diabaikan; apakah ini langkah terencana yang dibangun dari kajian mendalam? Atau hanya seremoni simbolik, yang mudah tenggelam dalam euforia sesaat?


Walikota Depok, Supian Suri, dalam pernyataannya menegaskan, bahwa; pembentukan Satgas ini adalah wujud komitmen penuh dari pemerintah bersama Polri dan TNI dalam menjaga ketertiban. 


Lebih lanjut, Walikota menyampaikan bahwa; premanisme tidak selalu harus di identifikasi sebagai sekelompok pria berbadan tegap dengan jaket loreng di pinggir jalan. Tapi juga, bisa hadir secara halus berwujud pungli, intimidasi, bahkan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh oknum ASN, anggota TNI, atau Polri.


Pernyataan tersebut, meski jujur dan reflektif, menuntut kejelasan langkah lanjut. Jika definisi premanisme diperluas hingga menyentuh ranah birokrasi, maka pendekatan penanggulangannya pun harus jauh lebih sistematis dan menyeluruh. Tidak cukup, dengan apel atau patroli. Sesekali dibutuhkan peta masalah, strategi, dan mekanisme kerja yang bisa menjawab kompleksitas persoalan.


Realita di lapangan menunjukkan, bahwa; premanisme masih menjadi duri yang tajam di Kota Depok. Beberapa waktu lalu, terjadi insiden pembakaran tiga mobil polisi oleh sekelompok orang yang diduga berasal dari organisasi kemasyarakatan. Tak hanya itu, tawuran pelajar hingga pembegalan masih menjadi momok yang menghantui warga.


Lalu, pertanyaannya; sudahkah pemerintah kota benar-benar melakukan pemetaan titik-titik rawan premanisme? Apakah telah ada kajian komprehensif, terhadap motif, pola, dan jaringan pelaku premanisme di wilayah Depok? Ataukah pembentukan Satgas ini, lebih bersifat responsif daripada preventif, datang ketika masalah telah meledak?


Sayangnya, dari pernyataan Walikota sendiri terungkap, bahwa; saat ini belum tersedia call center resmi untuk pengaduan masyarakat. Laporan masih tersebar ke berbagai instansi, tanpa pusat kendali yang solid. Ini menciptakan, ruang kebingungan dan risiko penanganan yang tidak terkoordinasi.


Tanpa sistem yang terintegrasi, potensi tumpang tindih penanganan, lambannya respon, hingga hilangnya jejak laporan, menjadi ancaman serius bagi efektivitas Satgas ini.


Sudah terlalu sering, masyarakat menyaksikan pembentukan tim-tim gabungan yang berakhir tanpa hasil berarti. Mulai dari tim penertiban, tim pengawasan, hingga satgas keamanan semua sempat bergema di permukaan, namun perlahan hilang dari radar. 


Jangan biarkan Satgas Anti-Preman ini menjadi bagian dari daftar panjang itu. Satgas ini, seharusnya tak hanya menindak secara represif. Diperlukan juga pendekatan pembinaan sosial, edukasi hukum, dan program deradikalisasi untuk kelompok atau individu yang kerap menggunakan cara-cara preman dalam menyelesaikan masalah. Ini tak bisa dilakukan oleh aparat keamanan semata, tapi harus melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, hingga organisasi sipil.


Pemerintah Kota Depok perlu membuka ruang dialog, bukan hanya monolog dari atas podium. Libatkan warga dalam menyusun sistem pengaduan yang transparan, edukatif, dan cepat tanggap. Bentuk satu pintu pengaduan, lengkap dengan pelatihan respon cepat untuk personel Satgas serta SOP yang jelas dalam setiap tindak lanjut laporan.


Warga Depok tak butuh spanduk, bertuliskan; “Bersama Lawan Premanisme". Mereka, butuh kenyamanan berjalan di malam hari. Mereka butuh jaminan, bahwa anak-anak mereka tak akan terlibat atau menjadi korban tawuran. Mereka ingin memastikan, bahwa; saat mereka melapor, ada tindakan nyata yang bisa mereka lihat dan rasakan.


Keamanan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal rasa. Dan rasa itu hanya bisa tumbuh jika pemerintah hadir secara konsisten dan profesional.


Satgas Anti-Preman Depok kini berada di titik krusial. Mereka punya kekuatan, punya dukungan, dan kini tengah diamati publik. Tapi kekuatan tanpa arah hanya akan menghasilkan kebisingan. Dukungan tanpa sistem hanya akan menghasilkan kekacauan. Dan pengamatan publik tanpa hasil, hanya akan berubah menjadi kekecewaan.


Maka, tantangannya kini bukan pada niat, tapi pada pelaksanaan. Apakah Satgas ini, mampu menjawab keresahan warga? Ataukah justru akan menjadi simbol, gagalnya pemerintah mengurai akar kekacauan sosial?


Warga Depok, tak berharap keajaiban. Mereka hanya ingin pemerintah bekerja jujur, transparan, dan sungguh-sungguh. Jika Satgas ini benar-benar untuk rakyat, maka tunjukkan lewat tindakan nyata bukan sekadar seremoni tahunan atau rutinitas birokratik.


Karena hari ini, di tengah suara sirine dan derap sepatu lars. Suara paling penting justru datang dari warga;

“Buktikan bahwa Satgas ini bukan hanya nama”. (MPD/Red)

Lebih baru Lebih lama