Lagu Terakhir Sang Legenda; Titiek Puspa


Langit sore Jakarta terasa begitu mendung, tepatnya saat waktu menunjukkan Pk. 16.25 WIB, di Kamis 10 April 2025, detaknya seperti terhenti. Sunyi pun, menjadi satu-satunya bahasa di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. 

Hj. Titiek Puspa, perempuan yang telah menaburkan cahaya dalam ribuan bait lagu bagi bangsa, mengembuskan napas terakhirnya dalam damai, dalam tenang, dalam cinta yang tak sempat terucapkan seluruhnya.

Tampak putrinya, Petty Tunjungsari, berdiri menggenggam naskah duka yang tak sanggup untuk siap dibacakan. Dengan suara pecah dan mata yang menyimpan laut kesedihan, ia pun berkata; “Telah wafat ibu kami, eyang, mertua, Hj. Titiek Puspa, hari ini pukul 16.25 WIB dengan tenang dan damai,”

Berita menggelegar itu, begitu menyayat. Bukan cuma bagi keluarga, tapi juga bagi jutaan hati yang tumbuh bersama lagu-lagu sang legenda Titiek Puspa. 

Beliau bukan sekadar penyanyi. Beliau adalah nyawa, yang hidup dalam setiap melodi Indonesia. Beliau adalah penyair, yang membuat air mata tak malu jatuh. Beliau adalah Ibu yang menjadi legenda.

Sebelum kepergiannya, Titiek Puspa sempat pingsan, usai menyelesaikan syuting tiga episode program Lapor Pak! di Trans 7 pada 26 Maret. Ya, di usia 87 tahun, beliau pun masih bekerja. Masih berdiri. Masih tersenyum, di depan kamera. Satu babak terakhir, dari kisah agung seorang seniwati legendaris yang tak pernah berhenti mencintai panggungnya.

Dua hari sebelum itu, beliau terlihat sehat. Hadir dalam acara sosial, bercengkerama dengan anak yatim, menyapa dengan tawa, berbicara tanpa cela. Siapa sangka, tubuhnya tengah menyimpan bahaya?! Mungkin, seperti kata Petty, beliau lupa minum obat tekanan darah tinggi. Atau mungkin, seperti semua legenda, beliau terlalu sibuk dengan sikap profesioinalisme membagi keindahan mimpi-mimpinya.

Dokter menemukan pendarahan otak, di sisi kiri kepalanya. Operasi pun dilakukan. Tiga hari pertama, berjalan baik. Ada harapan. Tapi, waktu punya caranya sendiri untuk mengajar kita pasrah. Hari demi hari, ia berbaring di ICU. Tanpa kunjungan. Tanpa keramaian. Hanya dijaga cinta, dan harapan yang perlahan merapuh.

Ketika napas terakhirnya berhenti, dunia pun menjadi lebih sepi. Seolah, sebuah suara agung yang biasa mengisi senyap malam telah lenyap. Tak ada suara emas itu lagi. Tak ada tangan yang menulis lirik kehidupan dengan kelembutan lagi. Tak ada lagi, tawa khasnya yang menular. Yang tersisa kini, hanyalah gema dalam duka.

Jenazah beliau disemayamkan di Wisma Puspa, rumah yang menyimpan ribuan kenangan, ratusan lagu, dan satu kehidupan yang sepenuhnya diberikan pada bangsa. Di sana, bunga-bunga duka diletakkan dengan tangan gemetar. Disana, kenangan datang sebagai tamu paling setia.

Orang-orang berkumpul. Beberapa terisak pelan, yang lain menangis dalam diam. Seorang anak kecil bertanya, siapa gerangan yang tidur dalam peti itu. Ibunya, menjawab; “Itu orang yang menulis lagu tentang cinta dan harapan.” Tapi ia tak sanggup berkata, bahwa; yang sedang mereka tangisi adalah cahaya yang kini padam.

Apa yang ditinggalkan Titiek Puspa, lebih dari lagu. Ia meninggalkan keteladanan. Ketangguhan. Ketulusan. Dalam 67 tahun berkarya, ia tidak pernah hanya bernyanyi, ia menghidupkan. Ia tidak hanya mencipta, ia menyentuh jiwa.

Kini, Indonesia berdiri dalam senyap. Menatap ke langit, dan mencari suara itu. Suara yang dulu menghibur saat sedih, memeluk saat sendiri. Suara yang kini hanya bisa dikenang.

Selamat jalan, Ibu Titiek Puspa. Engkau telah menutup buku yang paling indah. Tapi setiap halamannya, akan kami baca selamanya.  
Kami menangis, bukan karena kau pergi.  
Tapi, karena kau telah begitu indah hadir dalam hidup kami. Menitipkan lagu terakhir. Lagu terakhir itu, adalah; kepergianmu ibu.(®)
Lebih baru Lebih lama