Wartawan Wajib Menjaga Marwah Profesi Jurnalistik Lewat Etika dan Legalitas

 





Dalam kehidupan demokrasi, wartawan bukan sekadar peliput, tetapi penjaga gerbang kebenaran. Sayangnya, marwah profesi ini sering dikaburkan oleh tuduhan dan label yang sembrono seperti “wartawan gadungan”, “wartawan abal-abal”, atau “oknum tidak jelas”. Tuduhan semacam itu, selain menyakitkan secara personal, juga berbahaya secara institusional. Ia berisiko merusak kepercayaan publik terhadap media dan jurnalisme secara luas.
Padahal, wartawan adalah profesi terhormat yang diatur secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta dibentengi oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Oleh karena itu, penting bagi kita semua—baik masyarakat maupun institusi pemerintah—untuk membedakan secara tegas antara wartawan profesional dan oknum yang menyalahgunakan identitas pers demi kepentingan pribadi.

Pers: Pilar Keempat Demokrasi, Bukan Alat Kepentingan

Pasal 3 Ayat (1) UU Pers menyatakan bahwa:
“Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”
Sementara Pasal 6 huruf (a) menegaskan bahwa:
“Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.”
Dari sinilah jelas bahwa fungsi pers bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjadi penyeimbang kekuasaan, alat pendidikan publik, dan kanal pengawasan sosial. Pers yang profesional berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang transparan dan berkeadaban.

Kode Etik Jurnalistik: Kompas Moral Wartawan Profesional

Setiap wartawan yang sah wajib mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang diterbitkan Dewan Pers. Dalam KEJ, ada empat azas utama yang menjadi fondasi sikap kerja jurnalis:

  1. Demokratis – Wartawan harus melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
  2. Profesionalitas – Wartawan wajib menguasai aspek teknis dan filsafat jurnalistik.
  3. Moralitas – Wartawan dilarang menyebarkan informasi berdasarkan SARA, diskriminasi, atau kepentingan pribadi.
  4. Supremasi Hukum – Wartawan bukanlah profesi yang kebal hukum, dan harus taat pada hukum nasional.

Wartawan yang memahami dan mematuhi KEJ inilah yang pantas dianggap profesional dan sah menjalankan profesinya.

Syarat Legalitas Wartawan Menurut Regulasi

Untuk mencegah munculnya oknum yang menyalahgunakan identitas pers, berikut beberapa dasar hukum dan syarat legalitas seorang wartawan:

  1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  • Pasal 7 Ayat (1): “Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.”
  • Pasal 7 Ayat (2): “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
  1. Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/X/2018
  • Tentang Standar Kompetensi Wartawan, menyebutkan klasifikasi kompetensi wartawan muda, madya, dan utama.
  • Diselenggarakan melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang kini diselaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) oleh BNSP.
  1. Perusahaan Pers Terverifikasi
  • Wartawan harus bekerja atau berafiliasi dengan media yang berbadan hukum, terverifikasi Dewan Pers, dan terdaftar di Pangkalan Data Dewan Pers.

Dengan dasar inilah seorang wartawan mendapatkan legitimasi secara hukum, etika, dan profesional.

Wartawan Profesional vs Oknum Pers: Jangan Disamaratakan

Tidak bisa dimungkiri bahwa ada sebagian individu yang menyalahgunakan atribut pers untuk kepentingan pribadi—memeras, mengintimidasi, atau mencatut nama media fiktif. Namun, generalitas terhadap semua wartawan non-UKW atau dari media kecil sebagai “gadungan” adalah kekeliruan serius. Profesi wartawan mesti dinilai dari karya jurnalistiknya, kepatuhan pada kode etik, serta integritasnya dalam menyuarakan kebenaran.

Masyarakat dan Pemerintah Perlu Beri Ruang Edukasi dan Klarifikasi

Alih-alih menstigma, masyarakat dan instansi pemerintah seharusnya:

  • Memastikan wartawan yang dilayani berasal dari media resmi (terdaftar di Dewan Pers).
  • Menanyakan ID Pers dan surat tugas, bukan sekadar memperdebatkan seragam atau plat kendaraan.
  • Mendorong edukasi dan pelatihan tentang etika jurnalistik bagi wartawan pemula.
  • Tidak menolak wartawan hanya karena medianya tidak populer.

Penutup: Wartawan Butuh Ruang, Bukan Tuduhan

Menjadi wartawan bukan perkara mudah. Mereka bekerja di tengah tekanan sosial, risiko ancaman, dan keterbatasan sumber daya. Maka jangan tambahi beban mereka dengan stigma “abal-abal” hanya karena berbeda logo media atau belum ikut UKW.
Yang dibutuhkan sekarang adalah: peningkatan literasi jurnalistik, penguatan verifikasi media oleh Dewan Pers, dan edukasi publik agar bisa membedakan antara wartawan profesional dan oknum pemalsu identitas pers.
Wartawan bukan musuh negara. Mereka adalah mitra dalam menjaga demokrasi.

🔍 Referensi Hukum & Etik Wartawan:

  • UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
  • Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers
  • Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/X/2018 tentang Standar Kompetensi Wartawan
  • Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) – BNSP

Mari hentikan pelabelan tanpa dasar dan mulai membangun mekanisme evaluasi berbasis kompetensi dan karya tulis nyata.
Wartawan bukan dewa, tapi juga bukan penjahat. Mereka adalah mata dan telinga publik, yang bila dikuatkan akan memperkuat demokrasi, namun bila dilemahkan akan memperlemah keadilan itu sendiri.
“Jurnalisme bukan sekadar profesi. Ia adalah suara nurani masyarakat yang tak boleh dibungkam oleh stigma 

Oleh: Kenzo – Pemimpin Redaksi AswinNews

Lebih baru Lebih lama