Bonjol, Pasaman — Dalam semangat mempererat silaturahmi dan menggali lebih dalam persoalan yang dihadapi masyarakat, tim awak media bersama Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari Ganggo Hilia, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, mengadakan pertemuan penting yang menyuarakan aspirasi masyarakat penambang tradisional.
Pertemuan ini menyoroti kondisi tambang rakyat di Nagari Ganggo Hilia yang selama ini dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai adat dan kearifan lokal. Masyarakat setempat masih mempertahankan cara mendulang secara manual, tanpa menggunakan alat berat, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan warisan budaya leluhur.
Dalam suasana yang penuh kekeluargaan, Ketua BAMUS bersama para tokoh adat dan ninik mamak menyampaikan bahwa aktivitas penambangan rakyat di Ganggo Hilia bukanlah kegiatan eksploitasi, melainkan bagian dari tradisi turun-temurun yang dilakukan secara bijak dan lestari
Tambang Adat: Masyarakat Menolak Alat Berat, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
"Di sini kami mendulang emas dengan cara tradisional, memakai dulang dan tenaga manusia, bukan alat berat. Ini bukan hanya soal mencari rezeki, tapi juga menjaga warisan dan keseimbangan alam," ungkap salah seorang tokoh masyarakat saat diskusi berlangsung.
Para penambang lokal di Bonjol sangat memahami dampak dari penggunaan alat berat, baik terhadap lingkungan, sungai, hingga ekosistem sekitarnya. Oleh sebab itu, mereka memilih mendulang secara manual, meskipun hasilnya tidak seberapa, demi kelestarian alam dan demi anak cucu di masa depan.
Namun sayangnya, di tengah semangat menjaga nilai-nilai adat tersebut, masyarakat merasa belum mendapat perlindungan hukum yang memadai dari pemerintah daerah. Belum adanya penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menjadikan penambang adat ini kerap berada dalam posisi rentan, bahkan sering menjadi sasaran oknum-oknum yang mencoba mencari keuntungan pribadi.
Harapan Besar kepada Pemerintah Kabupaten Pasaman
Melalui pertemuan ini, BAMUS Nagari Ganggo Hilia menyampaikan harapan besar kepada Pemerintah Kabupaten Pasaman agar segera mengambil langkah serius dalam mengurus dan menetapkan WPR sesuai aspirasi masyarakat adat. Dengan demikian, masyarakat dapat mendulang secara legal, aman, dan tetap menjaga adat istiadat yang selama ini menjadi pegangan hidup.
“Kami tidak minta banyak, hanya pengakuan dan perlindungan hukum dari negara agar kami bisa bekerja tenang, sesuai dengan adat kami. Pemerintah harus melihat ini sebagai kekayaan budaya, bukan sekadar tambang,” ujar salah satu anggota BAMUS.
Silaturahmi antara tim media dan BAMUS ini menjadi momentum penting untuk membawa suara masyarakat adat Bonjol ke ruang publik dan kebijakan. Ini bukan sekadar tentang tambang, tetapi tentang harga diri masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah.
Menjaga Keseimbangan antara Tradisi dan Regulasi
Langkah maju dalam pembangunan daerah tidak boleh mengorbankan nilai-nilai luhur yang telah lama hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan terhadap tambang rakyat haruslah mempertimbangkan nilai-nilai adat dan kearifan lokal. Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung budaya dan pelayan masyarakat.
Pertemuan di Nagari Ganggo Hilia ini menjadi pengingat bahwa suara rakyat kecil yang mendulang di tepian sungai dengan sabar, adalah bagian penting dari sejarah dan masa depan Bonjol. Pemerintah Kabupaten Pasaman diharapkan segera menjawab aspirasi ini dengan kebijakan yang berpihak, bukan membiarkan rakyat terus berjuang sendiri di tanahnya sendiri.
Ade gusma