KPK Dari Garang Menjadi Garing _Kesaksian Wartawan yang Menyaksikan Langsung Kejayaan Hingga Kemunduran Lembaga Antikorupsi: "KPK Dibonsai Rezim jokowi"_




JAKARTA, - ||

"Saya menyaksikan langsung bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tumbuh menjadi lembaga paling ditakuti koruptor, sebelum akhirnya dilucuti secara sistematis oleh kebijakan politik rezim joko widodo". 


Demikian yang diungkapkan, Wartawan Senior, Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), Obor Panjaitan dalam Release Pers yang diterima redaksi jurnalinvestigasimabes.com, Jum'at (7/8-2025).


Sebagai jurnalis yang sejak lama meliput aktivitas KPK, dari era gedung lama hingga peresmian Gedung Merah Putih, obor berani katakan dengan pasti, bahwa; KPK hari ini tidak sedang tidak bekerja, tetapi dibatasi untuk tidak bisa bekerja.


"Saya turut hadir saat Presiden Jokowi meresmikan Gedung Merah Putih pada 2015. Gedung megah itu dibangun atas inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang kala itu berkomitmen memperkuat infrastruktur pemberantasan korupsi. Harapan masyarakat sangat besar terhadap KPK, termasuk harapan agar Presiden setelahnya mampu menjaga semangat reformasi. Namun kenyataannya, setelah Jokowi menjabat, justru lembaga ini dilemahkan secara struktural," papar Obor.


*Revisi UU KPK: Awal Dari Pembusukan Institusi*


Pada 2019, revisi Undang-Undang KPK disahkan oleh DPR dan disetujui oleh Presiden Jokowi. UU No. 19 Tahun 2019 ini mengubah banyak hal mendasar dalam sistem kerja KPK. Lembaga anti rasuah itu, bukan lagi lembaga independen, tapi dijadikan bagian dari rumpun eksekutif.


Penyadapan harus mendapat izin Dewan Pengawas. Ironisnya, Dewan Pengawas justeru dipilih oleh presiden, bukan hasil uji publik.


Dilanjut, Pegawai KPK yang lalu dialihkan statusnya menjadi ASN, dan harus mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial.


TWK ini menjadi alat politik yang efektif untuk menyingkirkan 75 pegawai terbaik KPK — termasuk penyidik senior seperti Novel Baswedan, Harun Al Rasyid, dan Giri Suprapdiono. Mereka bukan tidak lolos karena tidak kompeten, tapi karena dianggap 'terlalu berani' menegakkan hukum tanpa pandang bulu.


"Saya ikut turun ke jalan saat gelombang penolakan revisi UU KPK menggema. Bersama aktivis, akademisi, jurnalis, dan selebritis, kami suarakan; 'Reformasi Dikorupsi'. Tapi suara publik diabaikan. Pemerintah memilih menandatangani kemunduran ini secara sadar," beber Obor lagi.


*Pegawai KPK: Semangatnya Ada, Tapi Sistemnya Dibelenggu*


Jangan salahkan para penyidik dan staf KPK hari ini. Banyak dari mereka, adalah; orang-orang berintegritas, yang dulunya digembleng dengan prinsip idealisme anti-korupsi. Namun sistem yang kini, mengurung mereka sehingga membuat pemberantasan korupsi tak lagi efektif.


"Saya bersaksi bahwa para penyidik KPK dahulu sangat militan dan mandiri. Mereka tidak terikat birokrasi pemerintah, tidak tunduk pada hierarki politik. Mereka menyadap, menyergap, dan menangkap pejabat korup di manapun. Hari ini, izin penyadapan dan pemantauan harus melewati prosedur panjang dan pengawasan politis. Sehingga tidak heran, jika jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) menurun drastis. Pada era pra-revisi, rata-rata ada 80–90 OTT per tahun. Kini? Hanya belasan, bahkan nyaris nihil untuk kasus besar," kuak Obor pula.


*Indeks Persepsi Korupsi Turun, Rasa Percaya Publik Merosot*


Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami penurunan tajam, yakni:

- Tahun 2019: skor 40

- Tahun 2023: turun jadi 34.


Ini adalah skor terendah sejak era reformasi.

Skor ini menjadi refleksi langsung dari lemahnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Dalam pidato-pidato resmi, Jokowi memang sering mengklaim mendukung KPK. Tapi faktanya, penggembosan itu dilegalisasi langsung melalui penetapan UU dan seleksi pimpinan KPK yang penuh kepentingan politik.


*Harapan di Era Prabowo: Sembuhkan Luka yang Ditinggal Jokowi*


"Kini kita memasuki pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sebagai warga negara dan Ketua Umum IPAR, saya menyerukan agar pemerintah yang baru mengembalikan KPK ke format aslinya," tegas Obor.


Ketua IPAR itu juga menegaskan, bahwa; solusi mengembalikan taring KPK diantaranya adalah:

- Revisi UU KPK perlu dicabut.

- KPK harus kembali independen, lepas dari struktur eksekutif. 

- Dewan Pengawas dibubarkan, atau dibentuk dari mekanisme partisipatif sipil.

- Seleksi pimpinan KPK harus melibatkan publik, bukan hanya panitia seleksi titipan elite.


"Kita tidak bisa lagi berpura-pura, bahwa; 'KPK masih kuat'. Rakyat sudah tahu, lembaga ini telah dicabut taringnya. Tapi harapan belum mati. Selama masih ada jejak sejarah dan saksi hidup seperti saya, suara kebenaran akan terus hidup," tegas Obor.


*KPK Bukan Milik Presiden, Tapi Milik Rakyat*


Diakhir releasenya, Obor mengingatkan, bahwa; Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk bukan untuk menjadi alat kekuasaan, tetapi sebagai penyeimbang dan pengawas kekuasaan. Jika KPK dibonsai, maka demokrasi juga digerogoti. Jika KPK dipolitisasi, maka hukum menjadi alat dagang kekuasaan.


"Saya, Obor Panjaitan, menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintahan baru: Bangkitkan kembali semangat KPK. Cabut racun yang ditanam Jokowi. Pulihkan harapan raky. Artikel ini bagian dari gerakan moral jurnalis, untuk mengembalikan semangat pemberantasan korupsi dan menjadi rekam jejak publik atas pelemahan sistemik lembaga antikorupsi oleh kekuasaan. Salam Keadilan!" tandas Obor. (Red/OP)


Sumber Release:

Obor Panjaitan

Wartawan Senior, Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR)

Lebih baru Lebih lama