Jakarta, 16 September 2025 – Fenomena nikah siri masih banyak dijumpai di masyarakat Indonesia. Namun, praktik ini kerap menimbulkan persoalan hukum, khususnya ketika seorang wanita atau pria melakukan nikah siri padahal masih terikat dalam perkawinan sah yang belum diputus cerai secara hukum.
Dari perspektif hukum pidana Indonesia, kondisi demikian dapat dianggap sebagai tindak pidana zina. Hal ini merujuk pada Pasal 284 KUHP lama maupun Pasal 411 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang secara tegas menyebutkan bahwa seseorang yang masih terikat perkawinan tidak diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan pihak lain di luar pasangan sahnya.
Beberapa ahli hukum memberikan penjelasan berbeda mengenai konsep zina.
- R. Sugandhi dalam karyanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya menyebutkan bahwa zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat perkawinan.
- Sementara itu, R. Soesilo dalam buku KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menekankan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan pihak lain yang bukan suami atau istrinya.
Dari definisi para ahli ini, jelas terlihat bahwa inti permasalahan terletak pada status perkawinan sah. Bila seseorang masih terikat perkawinan, hubungan intim dengan pihak lain dapat dikualifikasikan sebagai zina.
Dalam hukum positif Indonesia, istilah nikah siri sebenarnya tidak dikenal secara resmi. Istilah "siri" berasal dari bahasa Arab sirra/israr yang berarti rahasia. Di masyarakat, nikah siri memiliki beberapa pengertian, antara lain:
- Pernikahan tanpa wali, biasanya dilakukan karena wali tidak setuju atau dianggap tidak perlu.
- Pernikahan sah secara agama (memenuhi syarat dan rukun nikah) tetapi tidak dicatatkan di KUA atau Dinas Catatan Sipil.
- Pernikahan yang dirahasiakan karena alasan stigma sosial atau faktor lain.
Menurut KBBI, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan modin dan saksi, tanpa pencatatan resmi di KUA, namun tetap dianggap sah secara agama Islam.
Meski sah secara agama, nikah siri tidak memenuhi syarat sah perkawinan menurut hukum negara. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks hukum pidana, zina dikategorikan sebagai delik kesusilaan. KUHP mengatur hal ini dalam Pasal 284, yang menyatakan bahwa:
- Zina (overspel) hanya terjadi bila salah satu atau keduanya sudah terikat perkawinan sah.
- Proses hukum hanya dapat berjalan bila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan (suami atau istri sah).
- Dengan demikian, zina merupakan delik aduan absolut. Artinya, tanpa adanya laporan dari pasangan sah, aparat penegak hukum tidak bisa memproses perkara tersebut.
Menurut literatur hukum, istilah overspel berasal dari bahasa Belanda yang berarti “pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan”. Putusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Belanda) pada 16 Mei 1946 menegaskan bahwa overspel terjadi bila ada hubungan seksual di luar izin suami/istri sah.
Masyarakat perlu memahami bahwa pengaduan soal zina harus dilengkapi dengan bukti yang sahih. Bila seseorang membuat laporan tanpa bukti yang kuat, maka ia dapat dijerat balik dengan Pasal 317 KUHP tentang fitnah, karena dianggap menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
Fenomena wanita yang menikah siri padahal masih terikat perkawinan sah menjadi persoalan serius, baik dari sisi hukum agama maupun hukum negara. Selain menimbulkan kerumitan dalam status perkawinan, hal ini juga berpotensi berimplikasi pidana.
Karena itu, masyarakat diimbau untuk memahami bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan secara resmi sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, hak-hak hukum para pihak terlindungi, sekaligus menghindarkan mereka dari jeratan pidana zina yang dapat merusak kehormatan dan masa depan.
Gilang sh