Misteri di Balik Dinding Beton: Kisah RTA, Terapis Muda di Pejaten

 



JAKARTA_||

Di balik gemerlap ruko dan kantor di kawasan Pejaten, sebuah tragedi menyisakan banyak teka-teki: seorang terapis muda ditemukan tewas di lahan kosong di balik gedung TIKI pada dini hari. Inisialnya RTA, dan kasusnya kini menjadi sorotan tak saja sebagai peristiwa kriminal, tetapi sebagai cermin masalah sosial di sektor pekerjaan rentan


Berdasarkan keterangan pihak kepolisian dan saksi:

  • Jasad wanita itu ditemukan pada Kamis (3/10/2025) di lahan kosong di belakang Gudang TIKI, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
  • Warga ruko mendengar teriakan perempuan sekitar pukul 04.00 WIB dan kemudian satpam bersama saksi lain menggunakan tangga untuk memeriksa dinding yang berbatasan dengan area kosong.
  • Di lokasi temuan, korban memakai kaos dan celana panjang abu-abu. Di dekatnya ditemukan dompet, ponsel merek iPhone dan Vivo, serta selendang hitam-putih.
  • Polisi sempat menduga korban melompat dari lantai lima ruko spa, setelah ditemukan jejak telapak kaki di dinding bagian luar gedung.
  • Namun, ada ketidakcocokan antara foto KTP korban dan kondisi wajah saat ditemukan, sehingga polisi menyebut perlu verifikasi dari Dukcapil.
  • Hingga kini, sebanyak 15 saksi telah diperiksa, termasuk manajer spa dan rekan kerja. Autopsi dari RS Polri Kramatjati masih ditunggu.

Semua fakta ini — antara keterangan saksi, jejak fisik, dan data administratif — menjadi potongan puzzle yang belum lengkap.

Meski detail identitasnya belum disahkan, dari investigasi sementara muncul beberapa gambaran:

  • RTA disebut sebagai pekerja baru di Delta Spa Pejaten, hanya bekerja sekitar sebulan di sana setelah “dimutasikan” dari Bali.
  • Rekan kerja menyebut dia pendiam dan mulai menarik diri akhir-akhir waktu. Tekanan psikologis sempat dikeluhkan ke saudara.
  • Salah satu tuduhan keluarga: ada klausul “denda” senilai Rp 50 juta jika ingin berhenti kerja — sebuah angka mencolok yang memicu dugaan adanya unsur eksploitasi.

Jika benar ada praktik seperti “denda” paksa terhadap pekerja spa, ini bukan sekadar soal satu individu, melainkan potret kerentanan pekerja informal wanita di industri jasa.

Kasus ini dapat dibaca sebagai “fenomena struktural” — bukan hanya peristiwa tunggal. Beberapa poin penting:




Perbedaan data KTP dan wajah korban menunjukkan bahwa identitas pekerja muda bisa “dipaksa” atau disesuaikan guna kepentingan administratif tempat kerja.

Adanya klaim “denda” atas pemberhentian kerja menunjukkan potensi praktik kontrak tak adil, di mana pekerja jadi terjebak.

Pekerja muda di spa mungkin tinggal jauh dari keluarga (mess terpisah), jam kerja tak teratur, dan intimidasi ringan sulit terpantau.

Industri spa dan jasa terapeutik kecil sering sulit terjangkau pengawasan ketenagakerjaan dan perlindungan dari Dinas Tenaga Kerja.

Banyak pekerja wanita di jasa kesehatan / spa cenderung tak punya akses mudah untuk menyuarakan keluhan, terutama korban intimidasi atau pelecehan.

Jika publik dan media hanya menyoroti “apakah ini bunuh diri atau pembunuhan?”, kita bisa kehilangan gambaran lebih besar: praktik kerja tak adil di sektor yang cenderung “tertutup”.

Beberapa hambatan dalam pengungkapan kasus ini:

  1. Verifikasi identitas yang belum final — koordinasi Dukcapil bisa lambat, dan kesalahan administrasi bisa mengaburkan jejak.
  2. Saksi terbatas — banyak saksi yang mengaku tak melihat apa-apa karena saat kejadian sedang tidur atau jauh dari lokasi.
  3. Interpretasi jejak fisik — jejak di dinding tak bisa langsung membuktikan bahwa korban naik karena niat sendiri atau dipaksa.
  4. Autopsi & bukti forensik — organ tubuh dan sampel lainnya yang diambil dari jenazah akan jadi kunci menentukan penyebab kematian.
  5. Tekanan eksternal / intimidasi — potensi pihak-pihak yang ingin menutup kasus ini dengan “buntut panjang” tidak bisa diabaikan.

Namun, ada harapan:

  • Hasil autopsi dan laporan laboratorium forensik bisa mengurangi spekulasi — apakah karena pukulan, keracunan, atau benturan.
  • Penegakan hukum terhadap pihak spa jika terbukti kontrak kerja ilegal atau unsur pemaksaan.
  • Sorotan media dan publik bisa memaksa transparansi dalam proses penyidikan.

Kasus RTA bukan hanya tragedi pribadi yang hilang dalam kabut malam Pejaten. Ia adalah cermin dari realitas banyak pekerja muda — terutama perempuan — di industri jasa yang rentan terhadap eksploitasi, ketidakjelasan administrasi, dan tekanan psikologis tak tertangkap mata.

Jika media, lembaga perlindungan pekerja, dan publik menyikapinya sebagai “cerita kriminal biasa”, maka kita melewatkan peluang belajar dan memperbaiki sistem yang rapuh. Karena yang terbunuh di sisi gelap ruko itu, mungkin bukan saja jasad seorang wanita, melainkan suara pekerja tanpa perlindungan.


Tr32

Lebih baru Lebih lama