Bireuen, Aceh — Kasus pemalsuan visum yang mencuat di Puskesmas Peulimbang, Kabupaten Bireuen, Aceh, semakin menyeruak ke permukaan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas sejumlah tenaga medis dan pimpinan puskesmas. Salah satu nama yang kini menjadi sorotan adalah Rina, seorang dokter honorer yang diduga menandatangani visum palsu yang digunakan dalam dua laporan berbeda.
Rina, saat dimintai keterangan oleh sejumlah pegawai senior Puskesmas Peulimbang terkait dokumen visum tersebut, menyatakan dengan tegas bahwa ia hanya bersedia memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. Sikap ini menuai spekulasi publik dan menghambat proses klarifikasi internal yang sedang diupayakan pihak Puskesmas.
Pusat Dugaan Konspirasi
Pemeriksaan internal dan penelusuran fakta menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa visum tersebut tidak dibuat secara prosedural. Nama dokter senior Nurul mencuat sebagai sosok yang diduga menjadi dalang dari pemalsuan dokumen medis tersebut. Nurul diduga berperan dalam memanipulasi informasi medis dengan tujuan untuk mendukung laporan palsu.
Lebih jauh lagi, Kepala Puskesmas Peulimbang, Fauzi, serta Kepala Tata Usaha (KTU) Puskesmas, Fina, disebut-sebut terlibat dalam penyusunan laporan yang kemudian diajukan ke pihak kepolisian. Fina diduga menjadi pihak yang mengklaim dirinya sebagai korban penganiayaan dalam laporan ke Polsek Jeunib pada 16 Januari 2025, sementara Nurul memanfaatkan visum yang sama untuk melaporkan seorang wartawan ke Polres Bireuen pada 4 Maret 2024, atas tuduhan pencemaran nama baik.
Dua laporan berbeda dengan satu dokumen visum yang sama menimbulkan tanda tanya besar mengenai validitas serta maksud sebenarnya dari penyusunan visum tersebut. Tidak hanya itu, langkah pelaporan terhadap wartawan yang memberitakan kasus ini ke publik dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan pers dan diduga sebagai upaya menutupi fakta yang sebenarnya terjadi.
Sikap Rina Menambah Kompleksitas Kasus
Sikap tertutup Rina, yang hanya bersedia memberikan keterangan kepada polisi, menjadi faktor yang memperlambat proses penyelidikan internal. Sejumlah pihak menyayangkan keputusan tersebut karena informasi dari Rina dianggap sebagai kunci penting untuk mengurai benang kusut dalam kasus ini. Namun, di sisi lain, keputusan Rina bisa dimaklumi sebagai bentuk kehati-hatian karena persoalan ini telah masuk ranah hukum.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Polsek Jeunib maupun Polres Bireuen mengenai status hukum dari para pihak yang disebutkan. Namun desakan dari masyarakat dan pemerhati hukum agar kasus ini ditangani secara transparan dan profesional terus menguat.
Sorotan Terhadap Etika Profesi dan Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi sorotan luas karena melibatkan oknum tenaga medis dan pimpinan institusi pelayanan kesehatan yang seharusnya menjunjung tinggi etika profesi. Pemalsuan visum, apalagi yang digunakan untuk tujuan pelaporan hukum, merupakan pelanggaran serius yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan dan proses penegakan hukum.
Masyarakat Aceh, khususnya warga Bireuen, kini menantikan tindakan tegas dari pihak kepolisian untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Kejelasan hukum dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat dinilai penting untuk menjaga marwah institusi kesehatan dan menjamin hak masyarakat atas informasi yang jujur serta akurat.
R