Diduga DPRK, Bupati, dan Dinas Terkait Hanya Sebatas Formalitas Membela Masyarakat: Persoalan Penyerobotan Lahan oleh Perusahaan Tak Kunjung Tuntas




 

Nagan Raya – ||

Aceh | Media Jurnal Investigasi Mabes
Rasa keadilan di tengah masyarakat Kabupaten Nagan Raya kian dipertanyakan. Dalam sejumlah persoalan agraria, warga kerap menjadi pihak yang disalahkan, sementara pihak perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) dinilai seolah kebal terhadap penegakan hukum.

Ironisnya, di tengah peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, sebagian masyarakat Nagan Raya justru merasa belum sepenuhnya merdeka. Bukan lagi karena penjajahan bangsa asing, melainkan karena lemahnya sistem dan ketidakberpihakan sebagian penguasa terhadap kepentingan rakyat kecil.

Padahal, UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila menegaskan bahwa negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Namun, bagi sebagian masyarakat, prinsip tersebut kini hanya terdengar sebagai jargon dalam pidato resmi, belum benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata di lapangan.

Janji politik Bupati Nagan Raya untuk “mengembalikan marwah daerah” pun kini menuai tanda tanya. Konflik agraria yang memuncak di Kecamatan Tadu Raya dan Beutong, akibat dugaan penyerobotan lahan ulayat oleh PT Kharisma Iskandar Muda (PT KIM), hingga kini belum menemukan titik penyelesaian yang jelas.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang telah digelar di Aula DPRK Nagan Raya dinilai masyarakat belum menghasilkan langkah konkret. Berbagai keputusan dan kesepakatan yang tercapai dalam forum tersebut tidak kunjung diimplementasikan di lapangan. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa proses rapat lebih bersifat seremonial daripada menjadi langkah penyelesaian substantif.

Sejumlah kalangan menilai, lembaga legislatif daerah kehilangan daya tawar dan keberanian untuk mengambil langkah tegas dalam menghadapi perusahaan besar, yang diduga memiliki dukungan kuat dari pihak-pihak tertentu.

Sementara itu, sikap pasif aparat penegak hukum dalam merespons laporan dan keluhan masyarakat semakin memperkuat dugaan adanya kompromi kekuasaan. Warga yang memperjuangkan haknya justru dihadapkan pada tekanan, intimidasi, bahkan ancaman kriminalisasi. Sebaliknya, perusahaan dinilai dapat memperluas areal operasionalnya tanpa pengawasan dan sanksi berarti.

Kondisi ini mencerminkan kemunduran demokrasi di tingkat lokal dan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Masyarakat berharap pemerintah daerah, DPRK, dan aparat terkait segera mengambil langkah nyata untuk mengakhiri persoalan ini, bukan sekadar memberikan pernyataan simpatik.

Apabila ketidakpastian dan ketimpangan ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan memicu gejolak sosial yang lebih besar. Warga menegaskan bahwa yang mereka butuhkan adalah kepastian hukum, keberpihakan nyata, dan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi.


UJ

Lebih baru Lebih lama