"Kalau sore sampai malam itu ramai. Banyak yang datang dan pergi. Kadang yang datang naik mobil, kadang juga jalan kaki. Tapi yang pasti, orangnya gonta-ganti," ungkap salah seorang warga yang meminta namanya tidak disebut demi alasan keamanan.
Lebih mencurigakan lagi, rumah tersebut kerap dijaga oleh beberapa orang berbadan tegap yang mengenakan seragam ormas tertentu. Mereka tampak berjaga di sekitar rumah dan seolah memberikan perlindungan agar kegiatan di dalam rumah tersebut tak terganggu. Situasi ini membuat warga sekitar enggan bersuara terbuka karena takut akan adanya intimidasi.
“Kami mau lapor juga takut. Takut dibalikin lagi atau nanti kita yang diincar. Apalagi orang-orang yang jaga itu pakai seragam, kaya backing-an,” ujar warga lainnya dengan nada khawatir.
Dampak Sosial yang Makin Meluas,Warga mengungkapkan kekhawatiran bahwa jika praktik perjudian ini dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak sosial yang lebih luas. Selain merusak moral masyarakat, aktivitas ilegal ini dinilai dapat memicu tindak kriminal lain seperti pencurian, perkelahian, bahkan penyalahgunaan narkoba.
“Judi itu seperti pintu awal dari kejahatan lainnya. Kalau dibiarkan terus, bisa muncul keributan, hutang piutang yang berujung kekerasan, dan lebih buruk lagi bisa menjalar ke anak-anak muda. Ini bukan sekadar soal ‘main-main’, ini soal keamanan lingkungan kita,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat.
Landasan Hukum yang Jelas, Tapi Penegakan Masih Mandek,Perjudian merupakan tindak pidana yang diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang lainnya. Beberapa pasal yang relevan antara lain:
Pasal 303 KUHP: Menyebutkan bahwa siapa pun yang menyediakan tempat untuk berjudi dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp25 juta.
Pasal 303 bis KUHP: Mengatur hukuman bagi mereka yang ikut serta dalam praktik perjudian, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda hingga Rp10 juta.
UU ITE Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008: Bagi mereka yang melakukan perjudian secara daring (online), ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Dengan aturan yang begitu jelas, seharusnya aparat penegak hukum tidak kesulitan dalam menindak praktik-praktik perjudian seperti yang diduga terjadi di rumah tersebut. Namun ironisnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi maupun tindakan konkret dari pihak kepolisian ataupun pemerintah daerah setempat.
Warga Menanti Ketegasan Aparat,Warga mengaku sudah terlalu lama menunggu kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan ini. Mereka berharap agar aparat penegak hukum turun langsung ke lokasi, melakukan investigasi secara menyeluruh, dan mengambil tindakan tegas tanpa pandang bulu.
“Kalau aparat diam saja, warga bisa makin frustasi. Kita butuh lingkungan yang aman, bukan yang dikuasai oleh bandar judi,” tegas warga.
Tak hanya warga, tokoh masyarakat dan aktivis hukum juga menyerukan agar kasus ini tidak dibiarkan mengendap. Mereka mendesak agar lembaga terkait, mulai dari kepolisian, Satpol PP, hingga kecamatan dan kelurahan, ikut bergerak melakukan penertiban.
“Jangan tunggu sampai terjadi tindak pidana besar dulu baru turun tangan. Mencegah jauh lebih baik daripada membiarkan,” ujar salah seorang pengamat sosial.
Perjudian bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, namun juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan. Rumah di Jl. Permata Merah yang diduga menjadi sarang perjudian adalah potret kecil dari masalah besar yang kerap luput dari perhatian serius aparat penegak hukum.
Kini, masyarakat menanti — apakah aparat akan bertindak sebagai pelindung rakyat atau justru membiarkan keresahan ini terus bergulir tanpa kejelasan?
(Redaksi Tim Investigasi Media Jurnapinvestigasimabes.com)